LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM
BIOANALISIS I
Penetapan
Potensi Antibiotika Menurut FI IV
KELAS / KELOMPOK : B/4
ANGGOTA KELOMPOK : 1. Erryza Amadea
(2011210085)
2. Faradilla Hanita Sari (2011210091)
3.
Febrina Nurmayadewi (2011210092)*
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2014
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Definisi antibiotika menurut Turpin dan
Velu adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh organisme hidup atau yang
diperoleh melalui proses sintesis yang memiliki indeks kemoterapi yang tinggi,
yang manifestasi aktivitasnya pada dosis yang sangat rendah secara spesifik
mampu menghambat proses vital tertentu pada virus, mikroorganisme ataupun juga
berbagai organisme bersel banyak.
Potensi antibiotika merupakan besaran
aktivitas biologis dari suatu antibiotika yang tidak dapat ditentukan secara
kimia atau fisikokimia, tetapi umumnya dilakukan secara mikrobiologi. Prinsip
penetapan potensi antibiotika adalah dengan membandingkan kemampuan suatu
antibiotika dengan antibiotika baku dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji
yang peka. Antibiotika baku adalah antibiotika yang kadar dan aktivitasnya
telah diketahui dengan pasti dibandingkan dengan antibiotika baku
internasional.
Penetapan potensi antibiotika secara
mikrobiologi dapat dilakukan dengan metode lempeng silinder atau metode
turbidimetri. Metode lempeng silinder didasarkan pada difusi antibiotika dari
silinder yang dipasang tegak lurus pada lapisan agar padat dalam cawan petri
atau lempeng, sehingga mikroba yang ditambahkan dihambat pertumbuhannya.
Penghambatan pertumbuhan mikroba ini akan tampak sebagai diameter daerah hambat
(DDH). Metode turbidimetri berdasarkan pada penghambatan pertumbuhan biakan
mikroba dalam larutan homogen antibiotika, dalam media cair yang dapat
menumbuhkan mikroba dengan cepat bila tidak terdapat antibiotika.
Pada praktikum ini, akan dilakukan
penetapan % potensi antibiotika secara mikrobiologi berdasarkan Farmakope
Indonesia Edisi IV dengan menggunakan metode lempeng silinder atau difusi agar.
Prosedur lengkap pengujian dapat dibaca pada Lampiran <131> di Farmakope
Indonesia Edisi IV.
B.
Perumusan Masalah
1) Apakah antibiotik yang
beredar memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba?
2) Apakah produk antibiotik
kloramfenikol dapat bekerja spesifik terhadap penghambatan pertumbuhan Escherichia coli sesuai dengan
persyaratan pada Farmakope Indonesia edisi IV?
C.
Tujuan dan Manfaat Percobaan
1.
Menghitung besarnya
presentase potensi antibiotika kloramfenikol terhadap bakteri uji Escherichia coli.
2.
Menetapkan potensi antibiotik kloramfenikol berdasarkan
Farmakope Indonesia Edisi IV dengan cara mengukur diameter daerah hambat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
·
Teori Dasar
o
Kemoterapi Antimikroba
Zat kimia telah digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi
sejak abad ke-17 (misalnya, kina untuk malaria dan emetin untuk amebiasis),
namun, kemoterapi sebagai suatu ilmu baru mulai dikembangkan oleh Paul Ehrlic
pada awal dekade abad ke-20. Masa perkembangan kemoterapi antimikroba sekarang
dimulai pada tahun 1935, dengan penemuan sulfonamida. Pada tahun 1940,
diperlihatkan bahwa penisilin, yang ditemukan pada tahun 1929, dapat dibuat
menjadi zat kemoterapi yang efektif. Selama 25 tahun berikutnya, penelitian
kemoterapi sebagian besar berpusat sekitar zat antimikroba yang berasal dari
mikroorganisme, yang dinamakan antibiotika.
o
Mekanisme Kerja Obat Antimikroba yang digunakan di Klinik
Suatu zat antimikroba yang ideal memiliki toksiitas
selektif. Istilah ini berarti suatu obat berbahaya bagi parasit tetapi tidak
membahayakan inang. Seringkali, toksisitas selektif lebih bersifat relatif dan
bukan absolut; ini berarti bahwa suatu obat yang pada konsentrasi tertentu
dapat ditoleransi oleh inang, dapat merusak parasit.
Toksisitas selektif dapat berupa fungsi dari suatu
reseptor khusus yang dibutuhkan untuk pelekatan obat, atau dapat bergantung
pada penghambatan proses biokimia yang penting untuk parasit tetapi tidak untuk
inang. Mekanisme kerja sebagian besar obat antimikroba belum dimengerti secara
jelas. Namun, untuk mudahnya dapat dibagi menjadi empat cara:
1) Penghambatan sintesis
dinding sel
2) Penghambatan fungsi
selaput sel
3) Penghambatan sintesis
protein (yaitu, hambatan translasi dan transkripsi bahan genetik)
4) Penghambatan sintesis
asam nukleat.
o
Pengukuran Aktivitas Antimikroba
Penentuan nilai-nilai ini dapat dilakukan dengan salah
satu dari dua metode utama berikut: pengenceran atau difusi.
Dengan menggunakan bakteri percobaan standar dan contoh
obat yang telah dikenal sebagai perbandingan, metode ini dapat digunakan untuk
menentukan potensi antibiotika yang sedang diperiksa atau kepekaan
mikroorganisme.
a)
Metode Pengenceran
Sejumlah obat antimikroba tertentu dicampurkan pada
perbenihan bakteri yang cair atau padat. Kemudian perbenihan tersebut ditanami
dengan bakteri yang diperiksa, dan dieram. Titer obat ialah jumlah obat
antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri
yang diperiksa. Tes kepekaan pengenceran-agar memakan waktu , dan penggunaannya
terbatas pada keadaan khusus. Tes pengenceran-kaldu tidak praktis dan jarang
digunakan bila pengenceran harus dibuat dalam tabung reaksi; namun, adanya
serentetan pengenceran-kaldu yang sudah disiapkan untuk pelbagai obat dalam
lempeng mikrotiter telah meningkatkan dan mempermudah cara tersebut. Keuntungan
tes pengenceran kaldu mikrodilusi ialah memungkinkan adanya hasil kuantitatif,
yang menunjukkan jumlah obat yang diperlukan untuk menghambat (mematikan)
mikroorganisme yang diperiksa.
b)
Metode Difusi
Cakram kertas saring, cawan yang berliang renik, atau
silinder tidak beralas, yang mengandung obat dalam jumlah tertentu ditempatkan
pada perbenihan padat yang telah ditanami dengan biakan tebal organisme yang
diperiksa. Setelah pengeraman, garis tengah daerah hambat jernih yang
mengelilingi obat dianggap sebagai ukuran kekuatan hambatan obat terhadap
organisme yang diperiksa. Metode ini dipengaruhi banyak faktor fisik dan
kimiawi di samping interaksi antara obat dan organisme (misalnya, sifat
perbenihan dan daya difusi, ukuran molekul, dan stabilitas obat). Meskipun
demikian, dengan standarisasi keadaan akan memungkinkan pengukuran kuantitatif
potensi obat atau kepekaan organisme.
Bila menentukan kepekaan bakteri dengan cara difusi,
sebagian besar laboratorium menggunakan cakram kertas saring yang telah diberi
antibiotika. Suatu gradien konsentrasi antibiotika terbentuk dalam perbenihan
melalui difusi cakram. Karena difsi merupakan suatu proses yang terus berjalan,
gradien konsentrasi ini tidak pernah stabil untuk waktu lama; tetapi suatu
stabilisasi tertentu dapat diciptakan dengan membiarkan difusi berlangsung
sebelum bakteri tumbuh pada perbenihan. Kesulitan terbesar ialah laju
pertumbuhan yang beragam di antara pelbagai mikroorganisme.
Interpretasi hasil tes difusi harus didasarkan pada
perbandingan antara metode pengenceran dengan metode difusi. Perbandingan ini
telah dibuat, dan juga rujukan standar internasional telah dibuat. Garis
regresi linear dapat menyatakan hubungan antara log konsentrasi minimum
hambatan pada tes pengenceran dan garis tengah daerah hambatan pada tes difusi.
Penggunaan cakram tunggal untuk tiap antibiotika dengan
keadaan tes yang standar memungkinkan penilaian kepekaan atau resistensi
mikroorganisme dengan membandingkan ukuran daerah hambatan terhadap suatu
patokan obat yang sama (metode Kirby-Bauer).
Penghambatan di sekeliling lempengan yang mengandung
sejumlah obat antimikroba tidak menimbulkan kepekaan terhadap kadar obat yang
sama permilimeter, darah, atau urine.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
-
Alat :
·
Tabung-tabung
reaksi steril
·
Pipet-pipet
volume steril
·
Lampu
spiritus
·
Erlenmeyer
·
Pinset
·
Rak tabung
·
Pencadang
besi steril
·
Cawan-cawan
petri steril
·
Alat ukur
DDH/jangka sorong
·
Inkubator
-
Bahan :
· Antibiotika kloramfenikol
· Suspensi biakan mikroba uji Escherichia coli berumur 24 jam, 25%T
· Larutan pengencer antibiotika yang sesuai
· Nutrient Agar
B.
Cara Kerja
Ø Penyiapan
Larutan Baku
Ditimbang
seksama sejumlah tertentu bahan baku yang kemudian dilarutkan dengan pengencer
hingga diperoleh larutan induk baku dengan konsentrasi 100 SI/ml atau 100
µg/ml. Dari larutan induk baku dibuat 5 seri pengenceran dosis (S1,
S2, S3, S4, dan S5), dengan
perbandingan antara S1:S2, S2:S3, S3:S4
dan S4:S5 sebesar 1:1,25. Dosis tengah (S3)
untuk suatu jenis antibiotika dibuat dengan konsentrasi mengikuti ketentuan
sebagaimana tercantum pada Lampiran <131> Farmakope Indonesia edisi IV,
Tabel 1 (dapat dilihat pada bagian Lampiran).
Ø Penyiapan
Larutan Uji
Dibuat
larutan uji suatu antibiotika dengan konsentrasi sama dengan S3
baku.
Ø Pembuatan
Kurva Baku
1) Disiapkan 3 cawan petri untuk masing-masing dosis
larutan baku, kecuali untuk dosis larutan baku S3. Ke dalam tiap
cawan petri dituangkan 15 mL media NA (±45oC), digoyangkan hingga
membentuk lapisan dan biarkan memadat sebagai lapisan dasar. Ke permukaan
lapisan dalam tiap cawan dituangkan 5 mL agar inokula, digoyang dan diputar
hingga membentuk lapisan yang rata dan dibiarkan hingga memadat. Agar inokula
dibuat dengan cara menambahkan 3,5 mL suspensi bakteri ke dalam 70 mL media
cair steril. Jenis mikroba uji untuk penetapan antibiotik disesuaikan
sebagaimana tercantum pada Lampiran <131> Farmakope Indonesia edisi IV,
Tabel 2 (dapat dilihat di bagian Lampiran).
2) Sebanyak 6 silinder besi tahan karat steril
dijatuhkan pada permukaan lapisan agar inokula dalam tiap cawan. Ke dalam 3
silinder pada cawan-cawan untuk dosis larutan baku S1diteteskan 0,1 ml larutan
baku S1 dan ke dalam 3 silinder lainnya 0,1 ml larutan baku S3.
3) Ke dalam silinder-silinder pada cawan-cawan untuk
dosis larutan baku S2 dilakukan penetesan seperti di atas
menggunakan larutan baku S2 dan S3. Pada cawan-cawan
untuk dosis larutan baku S4 menggunakan larutan baku S4
dan S3, dan pada cawan-cawan untuk dosis larutan baku S5
menggunakan larutan baku S5 dan S3.
4) Semua cawan dibiarkan lebih kurang 1 jam (pra
inkubasi), kemudian diinkubasi pada suhu 35-37oC selama 18-24 jam.
Setelah masa inkubasi, garis tengah daerah hambatan yang terbentuk diukur dan
dilakukan koreksi terhadap garis tengah rata-rata daerah hambatan dosis larutan
baku S1, S2, S4, dan S5 seperti
yang tertera pada perhitungan.
5) Garis tengah rata-rata daerah hambatan yang telah
dikoreksi dibuat kurva baku log dosis terhadap garis tengah hambatan pada
kertas grafik semilog dengan log dosis sebagai sumbu X dan garis tengah hambatan
sebagai sumbu Y.
Ø Penetapan
Potensi Contoh
1) Disiapkan 3 cawan petri untuk dosis larutan uji Su,
dari setiap contoh dan dilakukan sampai peletakan silinder besi tahan karat
seperti pada pembuatan kurva baku. Ke dalam 3 silinder pada cawan-cawan untuk
larutan uji U dari tiap contoh diteteskan masing-masing 0,1 ml larutan uji Su
dan ke dalam 3 silinder lainnya 0,1 ml larutan baku S3.
2) Semua cawan dibiarkan lebih kurang 1 jam, kemudian
diinkubasi pada suhu 35-37oC selama 18-24 jam. Garis tengah daerah
hambatan yang terbentuk setelah masa inkubasi diukur dan dilakukan koreksi.
Interpolasikan garis tengah rata-rata yang telah dikoreksi ke kurva baku yang
telah dibuat untuk menghitung potensi contoh.
IV. HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Dosis
|
Diameter Daerah Hambat (mm)
|
|
Cawan I
(Kelompok B4)
|
Cawan II
(Kelompok B3)
|
|
S1
|
10
|
14
|
12
|
11
|
|
10
|
13
|
|
S31
|
10
|
11
|
10
|
12
|
|
10
|
11
|
|
S2
|
11
|
12
|
11
|
10
|
|
10
|
11
|
|
S32
|
10
|
10
|
10
|
10
|
|
10
|
10
|
|
S4
|
10
|
10
|
10
|
9
|
|
11
|
11
|
|
S34
|
10
|
10
|
10
|
10
|
|
12
|
10
|
|
S5
|
10
|
12
|
10
|
12
|
|
11
|
10
|
|
S35
|
9
|
10
|
9
|
10
|
|
10
|
10
|
|
Suji
|
13
|
11
|
0
|
12
|
|
0
|
12
|
|
S3 Uji
|
13
|
12
|
0
|
11
|
|
17
|
11
|
Dosis
|
Rata-rata
|
Koreksi
DDH
|
S1
|
11,67±1,63
|
11,27
|
S31
|
10,67±0,82
|
|
S2
|
10,83±0,75
|
11,1
|
S32
|
10,00±0,00
|
|
S4
|
10,17±0,75
|
10,11
|
S34
|
10,33±0,82
|
|
S5
|
10,83±0,98
|
11,43
|
S35
|
9,67±0,52
|
|
Suji
|
8±6,23
|
7,6
|
S3 Uji
|
10,67±5,68
|
|
Perhitungan:
Konsentrasi larutan induk:
5 ppm
Akan dibuat seri pengenceran
S1, S2, S3, S4, dan S5 dengan
volume masing-masing 5 ml.
Ø Pengenceran baku S1
Konsentrasi seri
pengenceran S1 = 1/1,25 x 4 = 3,2 ppm
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 10 ppm = 5 ml x 3,2 ppm
V1 = 1,6 ml; ad 3,4 ml dengan aquadest steril
Ø Pengenceran baku S2
Konsentrasi seri
pengenceran S2 = 1/1,25 x 5 = 4 ppm
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 10 ppm = 5 ml x 4 ppm
V1 = 2 ml; ad 3 ml dengan
aquadest steril
Ø Pengenceran baku S3
Konsentrasi seri
pengenceran S3 = konsentrasi larutan uji = 5 ppm
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 10 ppm = 5 ml x 5 ppm
V1 = 2,5 ml; ad 2,4 ml dengan aquadest steril
Ø Pengenceran baku S4
Konsentrasi seri
pengenceran S4 = 1,25/1 x 5 = 6,25 ppm
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 10 ppm = 5 ml x 6,25 ppm
V1 = 3,125 ml; ad 1,875 ml dengan aquadest steril
Ø Pengenceran baku S5
Konsentrasi seri
pengenceran S5 = 1,25 x 6,25 = 7,8125 ppm
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 10 ppm = 5 ml x 7,8125 ppm
V1 = 3,90625 ml; ad 1,09375 ml
dengan aquadest steril
● Rata-rata S3 total (YS3T) = 10,27±2,45
o
Rata-rata
koreksi S1:
11,67 + (10,27 – 10,67)
= 11,27
o
Rata-rata
koreksi S2:
10,83 + (10,27 – 10,00)
= 11,1
o
Rata-rata
koreksi S4:
10,17 + (10,27 – 10,33)
= 10,11
o
Rata-rata
koreksi S5:
10,83 + (10,27 – 9,67)
= 11,43
o
Rata-rata
koreksi Suji:
8 + (10,27 – 10,67)
= 7,6
● Pembuatan Kurva Baku:
|
Dosis
(µg/ml)
|
Log
Dosis
(X)
|
Rata-rata
Koreksi DDH
Sebelum
regresi
(Y)
|
Rata-rata
Koreksi DDH
Setelah
regresi
(Y)
|
S1
|
3,2
|
0,51
|
11,27
|
10,98
|
S2
|
4
|
0,60
|
11,1
|
10,91
|
S3
|
5
|
0,70
|
10,27
|
10,84
|
S4
|
6,25
|
0,80
|
10,11
|
10,76
|
S5
|
7,8125
|
0,89
|
11,43
|
10,69
|
a = 11,3568
b = -0,744
y = a + bx
y = 11, 3568 – 0,744x
maka dosis larutan uji=
yuji = 11,3568 –
0,744x
7,6 = 11,3568 – 0,744x
x = 5,0495 (log dosis uji)
dosis uji = antilog 5,0495
= 112072,74 µg/ml
● Rata-rata Koreksi DDH Setelah Regresi :
o
S1
y = 11, 3568 – 0,744x
y = 11,3568 – (0,744 x
0,51)
y = 10,98
o
S2
y = 11,3568 – (0,744 x
0,60)
y = 10,91
o
S3
y = 11,3568 – (0,744 x
0,70)
y = 10,84
o
S4
y = 11,3568 – (0,744 x
0,80)
y = 10,76
o
S5
y = 11,3568 – (0,744 x
0,89)
y = 10,69
B.
Pembahasan
1)
Sebelum memulai praktikum, tangan dan meja disemprot
menggunakan larutan alkohol yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang
steril sehingga mikroba yang tidak diinginkan tidak mengganggu hasil praktikum.
2)
Prinsip dari pengujian antibiotik adalah mengukur
diameter daerah hambat (DDH) yang terbentuk, dimana DDH tersebut memperlihatkan
daerah yang tidak terdapat pertumbuhan bakteri akibat penghambatan oleh
antibiotik yang diuji dan antibiotik baku.
3)
Pada metode yang seharusnya (yang tertera pada FI IV)
larutan induk antibiotik baku yang digunakan adalah larutan induk dengan
konsentrasi 10 µg/ml, tetapi pada praktikum, larutan induk yang digunakan adalah
larutan dengan konsentrasi 5 µg/ml (1/2x konsentrasi pustaka). Sehingga perlu dilakukan
pengamatan pada hasil praktikum kelas D agar diperoleh potensi antibiotik yang
setara dengan pustaka.
4)
Sebelum dilakukan inkubasi pada suhu 35-37oC
selama 18-24 jam dilakukan pra inkubasi agar antibiotik yang berada di dalam
silinder dapat berdifusi dahulu ke dalam lapisan agar, setelah itu dilakukan
inkubasi agar bakteri dapat tumbuh secara optimal.
5)
Antibiotik dibuat dalam beberapa konsentrasi dari larutan
induk untuk melihat sejauh mana pengaruh konsentrasi antibiotik terhadap aktivitas
antimikrobanya.
6)
Pada percobaan kali ini dipilih antibiotik kloramfenikol
karena kloramfenikol merupakan suatu antibiotik spektrum luas yang mampu
membunuh bakteri gram negatif maupun gram positif.
7)
Uji potensi antibiotik kloramfenikol menunjukkan adanya
zona bening pada daerah pertumbuhan bakteri Escherichia
coli pada ke-5 seri pengenceran baku, dimana S1, S2,
S3, S4, dan S5 berturut-turut sebesar 11,27;
11,11; 10,27; 10,11 dan 11,43. Berdasarkan data yang diperoleh, data pengamatan
tidak sesuai dengan pustaka yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi
antibiotik maka akan semakin besar DDH yang terbentuk, hal tersebut dapat
terjadi karena bergesernya pecadang besi yang berisi antibiotik dari posisi
awal dan dapat juga dikarenakan pengenceran yang kurang teliti.
8)
Dari perhitungan persamaan regresi kurva baku, didapatkan
dosis larutan uji sebesar 112063,03 µg/ml; dosis yang didapatkan terlampau
besar seharusnya dosis antibiotik uji yang didapat hasilnya mendekati dengan
dosis antibiotik baku yang digunakan, karena data hasil percobaan yang tidak
akurat, persamaan regresi yang didapatpun menjadi tidak valid sehingga dosis
kloramfenikol yang sebenarnya tidak dapat ditentukan dan % potensi antibiotik
uji dibandingkan antibiotik bakunya juga tidak dapat ditentukan.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Persentase potensi antibiotika kloramfenikol
terhadap Escherichia coli =
B.
Saran
1)
Dilakukan prosedur penetapan potensi antibiotika
kloramfenikol kembali dengan meningkatkan konsentrasi antibiotik.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope
Indonesia Edisi IV. 1995.
Jawetz, et.al. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 20.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
No comments:
Post a Comment