Thursday, June 19, 2014

Penetapan Potensi Antibiotika Menurut FI IV

LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM BIOANALISIS I


Penetapan Potensi Antibiotika Menurut FI IV



 

















KELAS / KELOMPOK      : B/4
ANGGOTA KELOMPOK : 1. Erryza Amadea             (2011210085)
                                   2. Faradilla Hanita Sari              (2011210091)
                                   3. Febrina Nurmayadewi (2011210092)*       















FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2014
I.                 PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Definisi antibiotika menurut Turpin dan Velu adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh organisme hidup atau yang diperoleh melalui proses sintesis yang memiliki indeks kemoterapi yang tinggi, yang manifestasi aktivitasnya pada dosis yang sangat rendah secara spesifik mampu menghambat proses vital tertentu pada virus, mikroorganisme ataupun juga berbagai organisme bersel banyak.
Potensi antibiotika merupakan besaran aktivitas biologis dari suatu antibiotika yang tidak dapat ditentukan secara kimia atau fisikokimia, tetapi umumnya dilakukan secara mikrobiologi. Prinsip penetapan potensi antibiotika adalah dengan membandingkan kemampuan suatu antibiotika dengan antibiotika baku dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji yang peka. Antibiotika baku adalah antibiotika yang kadar dan aktivitasnya telah diketahui dengan pasti dibandingkan dengan antibiotika baku internasional.
Penetapan potensi antibiotika secara mikrobiologi dapat dilakukan dengan metode lempeng silinder atau metode turbidimetri. Metode lempeng silinder didasarkan pada difusi antibiotika dari silinder yang dipasang tegak lurus pada lapisan agar padat dalam cawan petri atau lempeng, sehingga mikroba yang ditambahkan dihambat pertumbuhannya. Penghambatan pertumbuhan mikroba ini akan tampak sebagai diameter daerah hambat (DDH). Metode turbidimetri berdasarkan pada penghambatan pertumbuhan biakan mikroba dalam larutan homogen antibiotika, dalam media cair yang dapat menumbuhkan mikroba dengan cepat bila tidak terdapat antibiotika.
Pada praktikum ini, akan dilakukan penetapan % potensi antibiotika secara mikrobiologi berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV dengan menggunakan metode lempeng silinder atau difusi agar. Prosedur lengkap pengujian dapat dibaca pada Lampiran <131> di Farmakope Indonesia Edisi IV.

B.   Perumusan Masalah
1)   Apakah antibiotik yang beredar memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba?
2)   Apakah produk antibiotik kloramfenikol dapat bekerja spesifik terhadap penghambatan pertumbuhan Escherichia coli sesuai dengan persyaratan pada Farmakope Indonesia edisi IV?

C.   Tujuan dan Manfaat Percobaan
1.  Menghitung besarnya presentase potensi antibiotika kloramfenikol terhadap bakteri uji Escherichia coli.
2.  Menetapkan potensi antibiotik kloramfenikol berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV dengan cara mengukur diameter daerah hambat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

·  Teori Dasar

o    Kemoterapi Antimikroba
Zat kimia telah digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi sejak abad ke-17 (misalnya, kina untuk malaria dan emetin untuk amebiasis), namun, kemoterapi sebagai suatu ilmu baru mulai dikembangkan oleh Paul Ehrlic pada awal dekade abad ke-20. Masa perkembangan kemoterapi antimikroba sekarang dimulai pada tahun 1935, dengan penemuan sulfonamida. Pada tahun 1940, diperlihatkan bahwa penisilin, yang ditemukan pada tahun 1929, dapat dibuat menjadi zat kemoterapi yang efektif. Selama 25 tahun berikutnya, penelitian kemoterapi sebagian besar berpusat sekitar zat antimikroba yang berasal dari mikroorganisme, yang dinamakan antibiotika.

o    Mekanisme Kerja Obat Antimikroba yang digunakan di Klinik
Suatu zat antimikroba yang ideal memiliki toksiitas selektif. Istilah ini berarti suatu obat berbahaya bagi parasit tetapi tidak membahayakan inang. Seringkali, toksisitas selektif lebih bersifat relatif dan bukan absolut; ini berarti bahwa suatu obat yang pada konsentrasi tertentu dapat ditoleransi oleh inang, dapat merusak parasit.
Toksisitas selektif dapat berupa fungsi dari suatu reseptor khusus yang dibutuhkan untuk pelekatan obat, atau dapat bergantung pada penghambatan proses biokimia yang penting untuk parasit tetapi tidak untuk inang. Mekanisme kerja sebagian besar obat antimikroba belum dimengerti secara jelas. Namun, untuk mudahnya dapat dibagi menjadi empat cara:
1)   Penghambatan sintesis dinding sel
2)   Penghambatan fungsi selaput sel
3)   Penghambatan sintesis protein (yaitu, hambatan translasi dan transkripsi bahan genetik)
4)   Penghambatan sintesis asam nukleat.

o    Pengukuran Aktivitas Antimikroba
Penentuan nilai-nilai ini dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode utama berikut: pengenceran atau difusi.
Dengan menggunakan bakteri percobaan standar dan contoh obat yang telah dikenal sebagai perbandingan, metode ini dapat digunakan untuk menentukan potensi antibiotika yang sedang diperiksa atau kepekaan mikroorganisme.
a)        Metode Pengenceran
Sejumlah obat antimikroba tertentu dicampurkan pada perbenihan bakteri yang cair atau padat. Kemudian perbenihan tersebut ditanami dengan bakteri yang diperiksa, dan dieram. Titer obat ialah jumlah obat antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri yang diperiksa. Tes kepekaan pengenceran-agar memakan waktu , dan penggunaannya terbatas pada keadaan khusus. Tes pengenceran-kaldu tidak praktis dan jarang digunakan bila pengenceran harus dibuat dalam tabung reaksi; namun, adanya serentetan pengenceran-kaldu yang sudah disiapkan untuk pelbagai obat dalam lempeng mikrotiter telah meningkatkan dan mempermudah cara tersebut. Keuntungan tes pengenceran kaldu mikrodilusi ialah memungkinkan adanya hasil kuantitatif, yang menunjukkan jumlah obat yang diperlukan untuk menghambat (mematikan) mikroorganisme yang diperiksa.
b)        Metode Difusi
Cakram kertas saring, cawan yang berliang renik, atau silinder tidak beralas, yang mengandung obat dalam jumlah tertentu ditempatkan pada perbenihan padat yang telah ditanami dengan biakan tebal organisme yang diperiksa. Setelah pengeraman, garis tengah daerah hambat jernih yang mengelilingi obat dianggap sebagai ukuran kekuatan hambatan obat terhadap organisme yang diperiksa. Metode ini dipengaruhi banyak faktor fisik dan kimiawi di samping interaksi antara obat dan organisme (misalnya, sifat perbenihan dan daya difusi, ukuran molekul, dan stabilitas obat). Meskipun demikian, dengan standarisasi keadaan akan memungkinkan pengukuran kuantitatif potensi obat atau kepekaan organisme.
Bila menentukan kepekaan bakteri dengan cara difusi, sebagian besar laboratorium menggunakan cakram kertas saring yang telah diberi antibiotika. Suatu gradien konsentrasi antibiotika terbentuk dalam perbenihan melalui difusi cakram. Karena difsi merupakan suatu proses yang terus berjalan, gradien konsentrasi ini tidak pernah stabil untuk waktu lama; tetapi suatu stabilisasi tertentu dapat diciptakan dengan membiarkan difusi berlangsung sebelum bakteri tumbuh pada perbenihan. Kesulitan terbesar ialah laju pertumbuhan yang beragam di antara pelbagai mikroorganisme.
Interpretasi hasil tes difusi harus didasarkan pada perbandingan antara metode pengenceran dengan metode difusi. Perbandingan ini telah dibuat, dan juga rujukan standar internasional telah dibuat. Garis regresi linear dapat menyatakan hubungan antara log konsentrasi minimum hambatan pada tes pengenceran dan garis tengah daerah hambatan pada tes difusi.
Penggunaan cakram tunggal untuk tiap antibiotika dengan keadaan tes yang standar memungkinkan penilaian kepekaan atau resistensi mikroorganisme dengan membandingkan ukuran daerah hambatan terhadap suatu patokan obat yang sama (metode Kirby-Bauer).
Penghambatan di sekeliling lempengan yang mengandung sejumlah obat antimikroba tidak menimbulkan kepekaan terhadap kadar obat yang sama permilimeter, darah, atau urine.

III. METODOLOGI PENELITIAN


A.   Alat dan Bahan
-          Alat    :


·         Tabung-tabung reaksi steril
·         Pipet-pipet volume steril
·         Lampu spiritus
·         Erlenmeyer
·         Pinset
·         Rak tabung
·         Pencadang besi steril
·         Cawan-cawan petri steril
·         Alat ukur DDH/jangka sorong
·         Inkubator



-          Bahan :


·       Antibiotika kloramfenikol
·      Suspensi biakan mikroba uji Escherichia coli berumur 24 jam, 25%T
·      Larutan pengencer antibiotika yang sesuai
·       Nutrient Agar




B.   Cara Kerja
Ø  Penyiapan Larutan Baku
Ditimbang seksama sejumlah tertentu bahan baku yang kemudian dilarutkan dengan pengencer hingga diperoleh larutan induk baku dengan konsentrasi 100 SI/ml atau 100 µg/ml. Dari larutan induk baku dibuat 5 seri pengenceran dosis (S1, S2, S3, S4, dan S5), dengan perbandingan antara S1:S2, S2:S3, S3:S4 dan S4:S5 sebesar 1:1,25. Dosis tengah (S3) untuk suatu jenis antibiotika dibuat dengan konsentrasi mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum pada Lampiran <131> Farmakope Indonesia edisi IV, Tabel 1 (dapat dilihat pada bagian Lampiran).

Ø  Penyiapan Larutan Uji
Dibuat larutan uji suatu antibiotika dengan konsentrasi sama dengan S3 baku.

Ø  Pembuatan Kurva Baku
1)      Disiapkan 3 cawan petri untuk masing-masing dosis larutan baku, kecuali untuk dosis larutan baku S3. Ke dalam tiap cawan petri dituangkan 15 mL media NA (±45oC), digoyangkan hingga membentuk lapisan dan biarkan memadat sebagai lapisan dasar. Ke permukaan lapisan dalam tiap cawan dituangkan 5 mL agar inokula, digoyang dan diputar hingga membentuk lapisan yang rata dan dibiarkan hingga memadat. Agar inokula dibuat dengan cara menambahkan 3,5 mL suspensi bakteri ke dalam 70 mL media cair steril. Jenis mikroba uji untuk penetapan antibiotik disesuaikan sebagaimana tercantum pada Lampiran <131> Farmakope Indonesia edisi IV, Tabel 2 (dapat dilihat di bagian Lampiran).
2)      Sebanyak 6 silinder besi tahan karat steril dijatuhkan pada permukaan lapisan agar inokula dalam tiap cawan. Ke dalam 3 silinder pada cawan-cawan untuk dosis larutan baku S1diteteskan 0,1 ml larutan baku S1 dan ke dalam 3 silinder lainnya 0,1 ml larutan baku S3.
3)      Ke dalam silinder-silinder pada cawan-cawan untuk dosis larutan baku S2 dilakukan penetesan seperti di atas menggunakan larutan baku S2 dan S3. Pada cawan-cawan untuk dosis larutan baku S4 menggunakan larutan baku S4 dan S3, dan pada cawan-cawan untuk dosis larutan baku S5 menggunakan larutan baku S5 dan S3.
4)      Semua cawan dibiarkan lebih kurang 1 jam (pra inkubasi), kemudian diinkubasi pada suhu 35-37oC selama 18-24 jam. Setelah masa inkubasi, garis tengah daerah hambatan yang terbentuk diukur dan dilakukan koreksi terhadap garis tengah rata-rata daerah hambatan dosis larutan baku S1, S2, S4, dan S5 seperti yang tertera pada perhitungan.
5)      Garis tengah rata-rata daerah hambatan yang telah dikoreksi dibuat kurva baku log dosis terhadap garis tengah hambatan pada kertas grafik semilog dengan log dosis sebagai sumbu X dan garis tengah hambatan sebagai sumbu Y.

Ø  Penetapan Potensi Contoh
1)      Disiapkan 3 cawan petri untuk dosis larutan uji Su, dari setiap contoh dan dilakukan sampai peletakan silinder besi tahan karat seperti pada pembuatan kurva baku. Ke dalam 3 silinder pada cawan-cawan untuk larutan uji U dari tiap contoh diteteskan masing-masing 0,1 ml larutan uji Su dan ke dalam 3 silinder lainnya 0,1 ml larutan baku S3.
2)      Semua cawan dibiarkan lebih kurang 1 jam, kemudian diinkubasi pada suhu 35-37oC selama 18-24 jam. Garis tengah daerah hambatan yang terbentuk setelah masa inkubasi diukur dan dilakukan koreksi. Interpolasikan garis tengah rata-rata yang telah dikoreksi ke kurva baku yang telah dibuat untuk menghitung potensi contoh.





IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.  Hasil
Dosis
Diameter Daerah Hambat (mm)
Cawan I
(Kelompok B4)
Cawan II
(Kelompok B3)
S1
10
14
12
11
10
13
S31
10
11
10
12
10
11
S2
11
12
11
10
10
11
S32
10
10
10
10
10
10
S4
10
10
10
9
11
11
S34
10
10
10
10
12
10
S5
10
12
10
12
11
10
S35
9
10
9
10
10
10
Suji
13
11
0
12
0
12
S3 Uji
13
12
0
11
17
11

Dosis
Rata-rata
Koreksi DDH
S1
11,67±1,63
11,27
S31
10,67±0,82

S2
10,83±0,75
11,1
S32
10,00±0,00

S4
10,17±0,75
10,11
S34
10,33±0,82

S5
10,83±0,98
11,43
S35
9,67±0,52

Suji
8±6,23
7,6
S3 Uji
10,67±5,68




Perhitungan:
Konsentrasi larutan induk: 5 ppm
Akan dibuat seri pengenceran S1, S2, S3, S4, dan S5 dengan volume masing-masing 5 ml.
Ø  Pengenceran baku S1
Konsentrasi seri pengenceran S1 = 1/1,25 x 4 = 3,2 ppm
V1 x N1            = V2 x N2
V1 x 10 ppm    = 5 ml x 3,2 ppm
V1                    =  1,6 ml; ad 3,4 ml dengan aquadest steril
Ø  Pengenceran baku S2
Konsentrasi seri pengenceran S2 = 1/1,25 x 5 = 4 ppm
V1 x N1            = V2 x N2
V1 x 10 ppm    = 5 ml x 4 ppm
V1                    = 2 ml; ad 3 ml dengan aquadest steril
Ø  Pengenceran baku S3
Konsentrasi seri pengenceran S3 = konsentrasi larutan uji = 5 ppm
V1 x N1            = V2 x N2
V1 x 10 ppm    = 5 ml x 5 ppm
V1                    =  2,5 ml; ad 2,4 ml dengan aquadest steril
Ø  Pengenceran baku S4
Konsentrasi seri pengenceran S4 = 1,25/1 x 5 = 6,25 ppm
V1 x N1            = V2 x N2
V1 x 10 ppm    = 5 ml x 6,25 ppm
V1                    =  3,125 ml; ad 1,875 ml dengan aquadest steril
Ø  Pengenceran baku S5
Konsentrasi seri pengenceran S5 = 1,25 x 6,25 = 7,8125 ppm
V1 x N1            = V2 x N2
V1 x 10 ppm    = 5 ml x 7,8125 ppm
V1                    = 3,90625 ml; ad 1,09375 ml dengan aquadest steril

     Rata-rata S3 total (YS3T) = 10,27±2,45

o  Rata-rata koreksi S1:
11,67 + (10,27 – 10,67)
= 11,27

o  Rata-rata koreksi S2:
10,83 + (10,27 – 10,00)
= 11,1

o  Rata-rata koreksi S4:
10,17 + (10,27 – 10,33)
= 10,11

o  Rata-rata koreksi S5:
10,83 + (10,27 – 9,67)
= 11,43

o  Rata-rata koreksi Suji:
8 + (10,27 – 10,67)
= 7,6


     Pembuatan Kurva Baku:

Dosis (µg/ml)
Log Dosis
(X)
Rata-rata Koreksi DDH
Sebelum regresi
(Y)
Rata-rata Koreksi DDH
Setelah regresi
(Y)
S1
3,2
0,51
11,27
10,98
S2
4
0,60
11,1
10,91
S3
5
0,70
10,27
10,84
S4
6,25
0,80
10,11
10,76
S5
7,8125
0,89
11,43
10,69

a = 11,3568
b = -0,744
y = a + bx
y = 11, 3568 – 0,744x
maka dosis larutan uji=
yuji = 11,3568 – 0,744x
7,6 = 11,3568 – 0,744x
x = 5,0495 (log dosis uji)
dosis uji = antilog 5,0495 = 112072,74 µg/ml

     Rata-rata Koreksi DDH Setelah Regresi :
o   S1
y = 11, 3568 – 0,744x
y = 11,3568 – (0,744 x 0,51)
y = 10,98
o   S2
y = 11,3568 – (0,744 x 0,60)
y = 10,91
o   S3
y = 11,3568 – (0,744 x 0,70)
y = 10,84
o   S4
y = 11,3568 – (0,744 x 0,80)
y = 10,76
o   S5
y = 11,3568 – (0,744 x 0,89)
y = 10,69


B.   Pembahasan
1)      Sebelum memulai praktikum, tangan dan meja disemprot menggunakan larutan alkohol yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang steril sehingga mikroba yang tidak diinginkan tidak mengganggu hasil praktikum.
2)      Prinsip dari pengujian antibiotik adalah mengukur diameter daerah hambat (DDH) yang terbentuk, dimana DDH tersebut memperlihatkan daerah yang tidak terdapat pertumbuhan bakteri akibat penghambatan oleh antibiotik yang diuji dan antibiotik baku.
3)      Pada metode yang seharusnya (yang tertera pada FI IV) larutan induk antibiotik baku yang digunakan adalah larutan induk dengan konsentrasi 10 µg/ml, tetapi pada praktikum, larutan induk yang digunakan adalah larutan dengan konsentrasi 5 µg/ml (1/2x konsentrasi pustaka). Sehingga perlu dilakukan pengamatan pada hasil praktikum kelas D agar diperoleh potensi antibiotik yang setara dengan pustaka.
4)      Sebelum dilakukan inkubasi pada suhu 35-37oC selama 18-24 jam dilakukan pra inkubasi agar antibiotik yang berada di dalam silinder dapat berdifusi dahulu ke dalam lapisan agar, setelah itu dilakukan inkubasi agar bakteri dapat tumbuh secara optimal.
5)      Antibiotik dibuat dalam beberapa konsentrasi dari larutan induk untuk melihat sejauh mana pengaruh konsentrasi antibiotik terhadap aktivitas antimikrobanya.
6)      Pada percobaan kali ini dipilih antibiotik kloramfenikol karena kloramfenikol merupakan suatu antibiotik spektrum luas yang mampu membunuh bakteri gram negatif maupun gram positif.
7)      Uji potensi antibiotik kloramfenikol menunjukkan adanya zona bening pada daerah pertumbuhan bakteri Escherichia coli pada ke-5 seri pengenceran baku, dimana S1, S2, S3, S4, dan S5 berturut-turut sebesar 11,27; 11,11; 10,27; 10,11 dan 11,43. Berdasarkan data yang diperoleh, data pengamatan tidak sesuai dengan pustaka yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi antibiotik maka akan semakin besar DDH yang terbentuk, hal tersebut dapat terjadi karena bergesernya pecadang besi yang berisi antibiotik dari posisi awal dan dapat juga dikarenakan pengenceran yang kurang teliti.
8)      Dari perhitungan persamaan regresi kurva baku, didapatkan dosis larutan uji sebesar 112063,03 µg/ml; dosis yang didapatkan terlampau besar seharusnya dosis antibiotik uji yang didapat hasilnya mendekati dengan dosis antibiotik baku yang digunakan, karena data hasil percobaan yang tidak akurat, persamaan regresi yang didapatpun menjadi tidak valid sehingga dosis kloramfenikol yang sebenarnya tidak dapat ditentukan dan % potensi antibiotik uji dibandingkan antibiotik bakunya juga tidak dapat ditentukan.



V. PENUTUP

A.  Kesimpulan        
1.      Persentase potensi antibiotika kloramfenikol terhadap Escherichia coli =

B.   Saran         
1)        Dilakukan prosedur penetapan potensi antibiotika kloramfenikol kembali dengan meningkatkan konsentrasi antibiotik.






VI. DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia Edisi IV. 1995.
Jawetz, et.al. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.



No comments:

Post a Comment